PROFESIONALISME
GURU DALAM MENINGKATKAN
MUTU
PENDIDIKAN
Oleh:
Sopiatun Nahwiyah
A.
Pendahuluan
Di
tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi
yang berdampak pada perubahan sosial saat ini, pendidikan memiliki peran yang
sangat penting dalam menghadapi krisis nilai-nilai kultural tersebut. Pendidikan
harus memiliki mutu agar dapat menghadapi permasalahan tersebut, dengan
demikian pendidikan harus meningkatkan profesionalisme guru dalam meningkatkan
mutu pendidikan karena kehadiran guru dalam proses pembelajaran memiliki
peranan yang penting, peran guru belum dapat digantikan oleh teknologi seperti
radio, televise, tape recorder, internet, computer maupun teknologi yang paling
modern. Banyak unsur manusiawi yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang
hanya didapatkan dari guru.[1]
Kajian
tentang profesionalisme guru dan mutu pendidikan ini juga menarik untuk dibahas
karena antara profesionalisme guru dengan mutu pendidikan ini sangat erat
sekali kaitannya. Guru yang profesional akan menciptakan mutu pendidikan yang
bagus dan sebaliknya guru yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya
akan menjatuhkan mutu pendidikan.
Berikut
ini beberapa hal yang mendorong pentingnya profesionalisme guru dalam
meningkatkan mutu pendidikan menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata dalam bukunya
kapita selekta pendidikan Islam.
1. Setelah lebih lima puluh tahun Indonesia
merdeka, barulah timbul perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah republik
Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Perhatian ini antara lain
dilakukan melalui perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang system
pendidikan Nasional, dan ditetapkannya anggaran pendidikan 20 % dari anggaran
pendapatan belanja Negara (APBN), juga keluarnya undang-undang nomor 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen, peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, peraturan pemerintah republik
Indonesia nomor 47 tahun 2008 tentang guru, ditetapkannya berbagai paradigma baru:
visi pendidikan nasional, kurikulum pendidikan, proses belajar mengajar dan
lain sebagainya. Semua itu pada intinya ditujukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah tersebut harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab oleh para penyelenggara pendidikan,
pemangku kepentingan, stakeholder dan
sebagainya, dan bukan hanya sekedar untuk mengejar kenikan gaji dan tunjangan.
2. Para ahli pendidikan pada umumnya
sepakat, bahwa peningkatan mutu pendidikan sebagaimana tersebut di atas pada
akhirnya bermuara kepada tersedianya tenaga pendidik (guru dan dosen) yang
bermutu. Tersedianya dana yang besar, sarana dan prasarana yang lengkap, serta
berbagai komponen pendidikan lainnya yang serba baru, belum menjamin
tercapainya tujuan peningkatan mutu pendidikan, jika mutu pendidikannya tidak
ditingkatkan. Pernyataan ini mengingatkan tentang pentingknya meningkatkan mutu
pendidik sebagai upaya strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Kesadaran peningkatan mutu tenaga pendidik ini sekarang sedang tumbuh, dan
karenanya perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
3. Tenaga pendidik yang bermutu dan
professional antara lain wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi
pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi
professional yang dperoleh melalui pendidikan profesi. Hal ini mengingatkan
tentang pentingnya dilakukan pendidikan profesi keguruan yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi. Kebijakan ini ditempuh, mengingat bahwa pembina mutu tenaga
pendidik bukanlah perkara yang mudah.[2]
Selain
dari beberapa hal di atas, perlunya peningkatan profesionalisme guru juga
disebabkan bahwa guru merupakan pendidik yang kehadirannya dalam proses
pembelajaran memiliki peranan yang penting, peranan guru itu belum dapat
digantikan oleh teknologi seperti televisi, tape recorder, internet, computer
maupun teknologi yang paling modern. Banyak unsur-unsur manusiawi seperti
sikap, system nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan keteladanan, yang
diharapkan dari hasil proses pembelajaran yang tidak dapat dicapai kecuali
melalui pendidik.[3]
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka pentingnya profesionalisme guru dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan. Dengan merujuk kepada berbagai undang-undang peraturan,
berbagai kebijakan pemerintah, berbagai referensi kependidikan, hasil
pengamatan dan pengalaman, tulisan ini akan mencoba menawarkan sebuah usulan
tentang langkah-langkah strategis dalam membina mutu guru agar menjadi guru
yang profesional, dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian
profesionalisme guru dan isyarat-isyarat ayat al Quran dan Hadis tentang
perlunya peningkatan mutu profesionalitas.
B.
Pengertian Profesionalisme Guru
Guru
dan profesinya tidak dapat dipisahkan. Sebutan istilah guru dipergunakan
terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini terkait
dengan kegiatan mengajar dan mendidik. Pekerjaan mengajar dan mendidik
merupakan sebuah profesi.
1.
Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian
khusus yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang, secara rinci Imran Manan
dalam buku karangan Dra. Afnibar, menyatakan:
Profesi adalah kedudukan atau jabatan
yang memerlukan ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh
sebagian lewat pendidikan atau perkuliahan yang bersifat teoritis dan disertai
dengan praktek, diuji dengan sejenis bentuk ujian baik diuniversitas atau
lembaga yang diberi hak untuk itu dan member kepada orang-orang yang
memilikinya (setifikat, lisence, brevet) suatu kewenangan tertentu dalam
hubungannya dengan kliennya.[4]
Mc. Culy dalam Afnibar menyatakan bahwa profesi
adalah pekerjaan yang senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak
pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan
kemudian secara langsung dipergunakan demi kepentingan umum.[5]
Dalam arti lebih luas Sikun Pribadi dalam Afnibar menyatakan:
Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu
pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya
kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa
terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. [6]
Terkait dengan definisi tersebut, Sikun Pribadi,
selanjutnya menyatakan profesi itu adalah suatu lembaga yang mempunyai otoritas
yang otonom, karena didukung oleh beberapa criteria:
a. Spesialisasi ilmu sehingga mengandung
arti keahlian;
b. Kode etik yang direalisasikan dalam
melaksanakan profesi, karena hakikatnya ialah pengabdian kepada masyarakat demi
kesejahteraan masyarakat itu sendiri;
c. Kelompok yang tergabung dalam profesi,
yang menjaga jabatan itu dari penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak
kompeten dengan pendidikan serta sertifikasi mereka yang memenuhi syarat-syarat
yang diminta;
d. Masyarakat luas yang memafaatkan profesi
tersebut;
e. Pemerintah yang melindungi profesi
dengan undang-undangnya.[7]
Lebih lanjut Moh. Ali dalam bukunya Afnibar
mengemukakan syarat-syarat profesi:
a. Menuntut adanya keterampilan yang
berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b. Menekankan pada suatu keahlian dalam
bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c. Menuntut adanya tingkat pendidikan
keguruan yang memadai.
d. Adanya kepekaan terhadap dampak
kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
e. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan.
f. Memiliki kode etik sebagai acuan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.
g. Memiliki klien/objek layanan yang tetap
seperti dokter dengan pasiennya guru dengan muridnya.
h. Diakui oleh masyarakat karena memang
diperlukan jasanya di masyarakat.[8]
Dari kedua pendapat ahli di atas, terdapat persamaan
dalam aspek spesialisasi, kode etik, organisasi profesi, dan pemakai jasa. Hal
tersebut memperlihatkan persamaan persepsi dalam memandang arti profesi,
sekalipun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut melengkapi dari
pengertian profesi.
2.
Pengertian Profesi Guru
Berdasarkan uraian tentang pengertian profesi di
atas, maka dapat dianalisis tentang pengertian profesi guru. Profesi guru dalam
keputusan National Education Association (NEA) dalam Afnibar dinyatakan
syarat-syarat guru yaitu:
Melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti
suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan profesional yang lama
(dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka) memerlukan
latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, menjanjikan karier hidup dan
keanggotaan yang permanen, yang menentukan standarnya sendiri, mementingkan
layanan diatas keuntungan pribadi dan mempunyai organisasi profesi yang kuat
dan terjalin erat.[9]
Dari keterangan di atas, dapatlah dianalisis
keterkaitan persyaratan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi:
a. Pekerjaan sebagai guru memerlukan
pendidikan khusus yaitu melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);
b. Memberi manfaat pada masyarakat yakni
mendidik sumber daya manusia yang berkualitas;
c. Memiliki kode etik yaitu kode etik
profesi guru;
d. Memiliki subjek sasaran yang jelas yaitu
para siswa di sekolah;
e. Keberadaannya sangat dibutuhkan dan
diakui oleh masyarakat dan memiliki organisasi profsi, yakni organisasi
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan demikian jelaslah pekerjaan guru
adalah suatu profesi.
3.
Guru yang Profesional dalam Perspektif Islam
Untuk menjadi guru yang professional tidaklah mudah
karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi
pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan
kecenderungan yang dimilikinya. Hal tersebut karena potensi merupakan tempat
dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua
rangsangan yang datang darinya.
W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi adalah suatu
tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
dituntut oleh jabatan seseorang. Definisi ini mengandung arti bahwa calon
pendidik perlu mempersiapkan diri menguasai sejumlah pengetahuan, keterampian
dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruan, agar ia dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memnuhi keinginan dan harapan
peserta didik.[10]
Dalam buku Bukhari Umar dijelaskan bahwa pendidik
Islam yang professional harus memiliki kompetensi yang lengkap, meliputi:
a. Penguasaan materi al islam yang
komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang yang
menjadi tugasnya.
b. Penguasaan strategi (mencakup
pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasi.
c. Penguasaan ilmu dan wawasan
kependidikan.
d. Memahami prinsip-prinsip dalam
menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keprluan pengembangan pendidikan
Islam di masa depan.
e. Memiliki kepekaan terhadap informasi
secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.[11]
Di Indonesia, masalah kompetensi pendidik, terutama
guru selalu dikembangkan. Dalam kebijakan Peraturan Pemerintah No. 74/2008
tentang guru, Bab II, Pasal 2 ditegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, seerta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Uraian tentang
kompetensi dimaksud adalah sebagai berikut.[12]
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesi yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan
guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya
meliputi:
a. Pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan;
b. Pemahaman terhadap peserta didik;
c. Pengembangan kurikulum atau silabus;
d. Perancangan pembelajaran;
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik
dan dialogis;
f. Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. Evaluasi hasil belajar; dan
h. Pengembangan peseta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[13]
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup
kepribadian yang:
a. Beriman dan bertakwa
b. Berakhlak mulia
c. Arif dan bijaksana
d. Demokratis
e. Mantap
f. Berwibawa
g. Stabil
h. Dewasa
i.
Jujur
j.
Sportif
k. Menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat
l.
Secara
objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan
m. Mengembangkan diri secara mandiri dan
berkelanjutan.[14]
Kompetensi social merupakan kemampuan guru sebagai
bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk:
a. Berkomunikasi lisan, tulis atau isyarat
secara santun
b. Menggunakan teknologi komunikasi dan
informasi secara fungsional
c. Bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang
tua atau wali peserta didik
d. Bergaul secara santun dengan masyarakat
sekitar dengan mengindahkan system nilai yang berlaku, dan
e. Menerapkan prinsip persaudaraan sejati
dan semangat kebersamaan.[15]
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru
dalam menguasai pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, atau seni
dan budaya yang diampu, yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a. Materi pelajaran secara luas dan
mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran,
atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu,
b. Konsep serta metode disiplin keilmuan,
teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren
dengan program satuan pendidikan pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang
akan diampu.[16]’
C.
Isyarat al Quran tentang Profesionalisme Guru
Di
dalam al Quran surat an Nisa, ayat 58 Allah menyatakan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hokum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah maha member
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha melihat.”[17]
Dengan
mengutip hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Imam
al-Maraghi, berpendapat, bahwa ayat tersebut turun berkenaan penyerahan kunci
ka’bah dari Rosulullah SAW kepada Usman Ibn Thalhah pada peristiwa Fathul
Makkah. Pada saat itu ada di antara keluarga nabi Muhammad SAW, seperti Ali Ibn
Abi Thalib, al Abbas yang ingin mendapatkan kepercayaan mengurusi kunci ka’bah
tersebut. Namun, nabi Muhammad SAW tetap menyerahkan kunci ka’bah itu kebada
Usman Ibn Thalhah, karena ia dianggap lebih ahli, berpengalaman dan
professional dibandingkan yang lain.[18]
Selanjutnya
Imam Bukhari salah seorang penghimpun hadis yang sangat terkenal dan disegani,
mengungkapkan bahwa sebelum hijrah ke Madinah, nabi ingin sekali memasuki
ka’bah untuk beribadah. Ia meminta Usman Ibn Thalhah memberikan kunci ka’bah
tersebut agar beliau dapat membukanya. Tetapi Usman menolak memberikan kunci ka’bah
tersebut. Waktu terus bergulir, dan Nabi berhasil menakhlukkan Mekkah dan
menguasai ka’bah dan mengambil kuncinya dari Usman Ibn Thalhah. Namun, setelah
beliau beribadah di dalam ka’bah, beliau menyerahkan kembali kunci ka’bah
tersebut kepada Usman Ibn Thalhah, sekalipun di antara sahabat dan keluarga
dekat Nabi menginginkan diserahi kunci ka’bah tersebut.[19]
Dari
ayat 58 surat al Nisa berserta penjelasan tentang asbab nuzul-nya sebagaimana
tersebut di atas, terdapat beberapa catatan penting dalam hubungannya dengan
profesionalisme sebagai berikut.
Pertama,
seorang tenaga yang professional adalah seorang yang bersifat al amin
(dipercaya), al hafiz (dapat menjaga amanah), dan al wafiya (yang merawat
sesuatu dengan baik). Imam al Maraghi lebih lanjut mejelaskan makna amanah yang
terdapat pada ayat tersebut menjadi tiga bagian, yaitu amanah al abd ma’a
rabbihi, amanah al abd ma’a al naas, dan amanah al abd ma’a nafsihi. Amanah al
abd ma’a rabbihi adalah sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oelh seorang
hamba terhadap Tuhannya, seperti memelihara segala perintahnya dan menghentikan
segala yang dilarangnya serta mengamalkan syariatnya dalam rangka mendapatkan
manfaat dan mendekatkan diri kepadanya. Sedangkan amanah al abd ma’a al naas
adalah sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap
orang lain, seperti seorang pemimpin yang berbuat adilterhadap rakyatnya,
seorang ulma yang berbuat adil terhadap orang-orang awam dan menunjukinya
kepada aqidah yang benar, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia
dan akhirat dengan jalan memberikan pendidikan yang baik dan usaha yang halal.
Selanjutnya amanah al abd ma’a nafsihi, adalah seseorang yang menggunakan
potensi dan kompetensinya hanya untu sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan
baginya di dunia dan di akhirat, menjaga dirinya dari hal-hal yang merugikan,
memelihara diri dari berbagai penyakit dan mempelajari ilmu kesehatan.[20]
Dengan demikian, tugas pendidik adalah termasuk amanah al abd ma’a al naas.
Pandangan mendidikan sebagai amanah ini perlu dimiliki oleh seorang guru yang professional,
sehingga tidak kehilangan visi dan spirit transendentalitas, yakni pandangan
dan semangat, bahwa mendidik adalah merupakan amanah yakni sesuatu yang harus
dijaga dan dilaksanakan sebagai panggilan Tuhan. Visi dan spirit ini perlu
dijaga, agar para pendidik tidak tergoda oleh hal-hal yang bersifat
materialistic dan hedonistic yang merupakan pangkal kehancuran dan kejatuhan
mutu pendidikan. Praktik jual beli nilai, jual beli gelar, membocorkan soal
ujian Negara, dan lain yang merusak mutu pendidikan terjadi disebabkan
hilangnya visi dan spirit mendidik sebagai amanah.
Kedua,
seorang tenaga pendidik professional dalam pandangan Islam adalah seorang
pendidik yang memiliki keahlian. Kepercayaan yang diberikan oleh Rosulullah SAW
kepada Usman Ibn Thalhah untuk menjaga kunci ka’bah tersebut, karena Usman Ibn
Thalhah sudah teruji keahliannya secara bertahun-tahun. Nabi Muhammad SAW tidak
terpengaruh untuk menyerahkan kunci ka’bah tersebut kepada orang lain termasuk
keluarga dan sahabat dekatnya yang belum teruji keahliannya. Walaupun demikian
kuat desakan sahabat dan keluarga Nabi tersebut menyerahkan kunci ka’bah
kepadanya, namun Nabi Muhammad SAW tetap tidak tergoyahkan. Nabi Muhammad SAW
tetap professional, tidak tergoyahkan untuk bertindak kolusi atau nepotisme,
sehingga dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW
menegaskan: Jika suatu pekerjaan
diserahkan kepada bukan ahlinyam maka tunggulah kerusakannya.[21]
Jatuhnya
mutu pendidikan di Indonesia saat ini antara lain, karena banyak tenaga guru
yang tidak memiliki keahlian, namun berani tampil sebagai pendidik. Kerusakan
dan jatuhnya mutu pendidikan yang disebbakna oleh guru yang tidak ahli ini
masih banyak terjadi. Mereka yang tidak memiliki keahlian berani mengajar,
karena kerusakan mutu pendidikan yang disebabkan guru tidak ahlli tersebut
tidak terjadi seketika, melainkan setelah dua puluh lima tahun pendidikan
tersebut dilakukan. Hal ini berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh
seorang dokter, yang apabila salah dalam melakukan diagnose dan terapi,
akibatnya langsung dapat dilihat pada pasiennya. Karena itu, seseorang yang tidak
memiliki keahlian dalam bidang dokter tidak berani melakukan praktik medis,
sedangkan mereka yang tidak memiliki keahlian dalam bidang pendidikan tetap
berani melakukan tugas mendidik, karena akibatnya bersifat jangka panjang.
Karena itu pendidik ada lembaga pengawas yang memonitor dan mengawasi adanya
guru-guru yang tidak memiliki keahlian, namun tetap mendidik. Institusi
perhimpunan wali murid, seperti majelis madrasah atau komite sekolah harus
mengawasi praktik guru yang tidak memiliki keahlian yang berani melakukan tugas
pendidikan.
Ketiga,
seorang pendidik yang professional dalam pandangan Islam adalah seorang yang
bertindak adil, yakni memberikan hak kepada yang memilikinya dengan cara yang
paling efektif atau tidak berbelit-belit.[22]
Kebencian terhadap seseorang karena kejelekan misalnya, tidak boleh sampai
menghalanginya untuk memberikan sesuatu yang menjadi halknya. Kejengkelan
seseorang guru terhadap muridnya, karena tingkahlakunya, tidak boleh mengurangi
nilai ujian, perhatian, dan kasih sayang kepadanya. Ini sesuatu yang berat,
tapi itulah sikap profesional.
Pelaksanaan
keadilan dalam kaitan dengan profesionalisme ini dapat dipahami dari peristiwa
tentang Siti Aisyah dengan safwan bin al muathal. Peristiwa tersebut secara
ringkas dapat ditemukan, bahwa dalam suatu perjalanan kembali dari dari
perkampungan Bani al Mustaqim, Siti Aisyah tertinggal dari rombongan. Aisyah
kemudian ditolong oleh seorang sahabat nabi yang bernama Safwan bin al Muathal.
Setelah peristiwa itu, muncul fitnah, bahwa antara Aisyah dengan Safwan ada
apa-apa. Peristiwa ini dalam sejarah Islam sangat dikenal dengan nama kasus
fitnah. Salah seorang yang ikut bertanggung jawab dalam menyebarkan fitnah
tersebut adalah saudara/pegawai Abu Bkar yang bernama Mistah. Abu Bakar mengetahui
bahwa Mistah bergabung dalam komplotan penyebar fitnah yang mencemarkan nama
baik putrinya yang tidak bersalah. Karena Abu Bakar jengkel, maka ia
menghentikan tunjangan hidup selama itu diberikan kepada Mistah, sebagai salah
seorang yang tergolong miskin. Ketika Abu Bakar memutuskan untuk menghentikan
tunjangan bagi Mistah, maka Allah SWT menurunkan ayat 22 surat al Nur, yang
artinya: Janganlah di antara kamu yang
terhormat dan kaya pernah bersumpah untuk tidak memberikan sumbangan bagi
keluarga yang miskin dan para musafir yang berjalan karena Tuhan. Lebih baik
mereka berlapang dada dan member maaf. Apakah engkau ingin Tuhan memaafkan
kesalahanmu? Sesungguhnya Tuhan maha pemaaf lagi maha penyayang.
Berkenaan
dengan ayat tersebut, suatu hari, seseorang menghampiri Abu Bakar dan
menghujatnya. Kala itu Abu Bkar sedang duduk bersama Nabi. Abu Bakar
mendengarkan cercaan, tetapi dia tetap diam dan tidak berkata apa-apa. Orang it
uterus menghina Abu Bakar, tetapi Abu Bkar tetap tenang. Ketika orang-orang itu
terus-menerus meluncurkan kata-kata hinaan tanpa henti, Abu Bakar tidak dapat
menahan diri lagi, dan dia membalas kata-kata kasar orang itu. Melihat dan
mendengar kejadian tersebut, Nabi segera bangkit dan meninggalkan Abu Bakar.
Lalu Abu Bakar berkata: mengapa anda meninggalkan tempat duduk anda ya
Rosulullah?. Nabi menjawab: selama engkau dapat menahan diri untuk tetap diam,
maka para malaikatlah yang menjawab sebagai wakilmu. Tetapi segera setelah
engkau membuka mulut, maka malaikatpun pergi meninggalkanmu.[23]
Kisah
tersebut memperlihatkan karakter seseorang professional yang ditandai dengan
bersikap adil, tenang dalam menghadapi masalah, tidak mudah terpancing, dan
tidak kehilangan akal sehatnya. Kejengkelan Abu Bakar terhadap Mistah,
pembantunya, tidak boleh menyebabkan ia menghentikan tunjangan hidupnya, dan
banyaknya fitnah dan gunjingan yang menimpa dirinya, tidak boleh menyebabkan ia
kehilangan akal sehatnya. Nabi Muhammad SAW dalam kisah tersebut sangat
professional . ia tetap adil, tenang dan tidak termakan isu. Kisah ini dapat
pula dihubungkan dengan sebuah pengandaian sebagai berikut. Jika ada seorang
pasien yang pernah menjahati dan memusushi seorang dokter, dan kebetulan pasien
tersebut datang berobat kepada dokter tersebut, kira-kira apa yang harus
dilakukan. Jika dokter tersebut seorang yang professional, ia tetap melayani
dan merawat pasien tersebut dengan sebaik-baiknya. Rasa jengkel dan rasa sakit
hatinya, tidak boleh menyebabkan ia berniat membunuh pasiennya itu, seklaipun
peluang itu ada di hadapannya. Kisah dan ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa
menegakkan profesionalisme itu sering kali berhadapan dengan problema yang
pelik. Seorang yang professional adalah orang yang lulus dalam menghadapi dan
mengatasi problema tersebut. Ia tetap bersikap adil, tenang, berkepala dingin,
tidak kehilangan akal sehat, sabar dan pemaaf. Dalam kaitan ini Allah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
hendakah kamu jadi prang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena alalh,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali=kali kebencianmu terhadap suatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilalah, karena adil
itu lebih dekat dengan takwa. (QS al Maidah: 5-8).
Keterangan
ayat di atas dan kisah di atas menunnjukan. Bahwa dalam Islam masalah
profesionalisme bukan hanya ditunjukan dengan keahlian dan kemahiran dalam
melakukan suatu pekerjaan, melainkan berkaitan dengan amanah dan tanggung jawab
dengan Tuhan, masyarakat dan diri sendiri. Profesionalisme terkait dengan sikap
berlaku adil, tenang, tidak panic, tidak mudah dihasut, sabar dan pemaaf. Sikap
profesionalisme dalam Islam, bukan hanya dalam teori melainkan telah
ditunjukkan dan dipraktikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sikap profesionalisme yang
dirumuskan dalam undang-undang dan peraturan sebagaimana disebutkan di atas.
Hal itu perlu dilakukan oleh guru yang beragama Islam, sehingga di samping
memiliki kesamaan kompetensi profesionalisme dengan guru lainnya, seorang guru
muslim memiliki kekhususuan kompetensi profesionanya yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran Islam.
D.
Langkah-langkah Mencetak Guru Profesional
Perhatian
terhadap pembinaan guru yang profesioanl merupakan agenda yang sudah
berlangsung sejak nabi Adam AS, zaman dinasti dan kerajaan di India, Cina,
Persia, Mesir Kuno, Yunani dan seterusnya. Di Indonesia, perhatian terhadap
pembinan guru professional sudah dilaksanakan sejak zaman kerajaan Hindu,
Budha, zaman kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde
lama, Orde baru, era reformasi sekarang. Pembinaan guru yang professional
tersebut disesuaikan dengan kenutuhan zaman.
Pembinaan
guru professional di orde lama dan orde baru misalnya, tampak lebih baik dari
masa sekarang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa catatan sebagai
berikut:
Pertama, di masa orde
lama dan orde baru, setiap orang yang ingin menjadi guru harus lulusan
pendidikan keguruan. Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG),
ada pula program D-II PGSD (Pendiidkan Guru Sekolah Dasar), D-III PGSM
(Pendidikan Guru Sekolah Menengah). Selanjutnya untuk guru MI ada pendidikan
Guru agama 4 tahun (PGA 4 Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah ada
pendidikan guru agama 6 tahun (PGA 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM dapat
melanjutkan ke IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan
PGA 6 Tahun dapat melanjutkan ke fakultas tarbiyah. Dengan demikian, mereka
yang masuk ke fakultas keguruan (IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki teori
dan praktik ilmu keguruan yang matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini
tidak ada lagi, sehingga input yang masuk ke fakultas keguruan tidak memiliki
bekal ilmu dasar keguruan yang memadai. Untuk itu sekolah-sekolah keguruan
tersebut perlu dipertimbangkan untuk dihidupkan kembali.[24]
Kedua, guna
memperoleh kompetensi akademik dan peadagogik yang matang, seharusnya pola
pembinaan tenaga guru dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara
fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru
bidang fikih misalnya, sebaiknya tamatan S-I Fakultas Syari’ah, kemudian mengikuti
pendidikan profesi keguruan di fakultas tarbiyah. Demikian pula untuk
mendapatkan guru yang mahir dalam bidang tafsir, diambil dari jurusan tafsir,
guru yang mahir dalam bahasa Arab diambil dari fakultas Dirasah Islamiah atau
fakultas Adab jurusan sastra Arab yang kemudian mengikuti pendidikan profesi
keguruan di fakultas Tarbiyah. Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara
fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan.[25]
Ketiga, bahwa tenaga
pengajar pada pendidikan profesi sebaiknya kaum profesional yang selain memiliki
keahlian, kemahiran dan kecakapan, juga memiliki pengalaman praktis di
bidangnya. Guru senior yang berprestasi kiranya lebih tepat diposisikan sebagai
kaum profesional untuk mengajar pendidikan profesi guru. Berkenaan dengan ini
Ki Supriyoko berpendapat, bahwa kaum professional wajib hukumnya menjadi tenaga
pengajar dalam pendidikan profesi guru. Jangan sampai tenaga pengajar dalam
program ini didominasi akademisi, meskipun mereka bergelar doctor atau
professor. Jika hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ada ubahnya
dengan pendidikan akademik sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya.[26]
Keempat, bahwa
pendidikan calon guru professional seharusnya dilakukan melalui system guru
berjenjang dan berantai. System ini dijumpai pada pendidikan gratis untuk orang
miskin sebagaimana dijumpai di pesantren. Pada tahun 70-an, pesantren Jauharun
Naqiyah menerapkan system guru berjenjang dan berantai ini. Caranya, seorang
murid yang cerdas dan pandai dari tingkat Tsanawiyah misalnya diberi
kepercayaan mengajar murid Ibtidaiyah; dan seorang murid yang cerdas dan pandai
di tingkat Aliyah diberi kesempatan mengajar di tingkat Tsanawiyah; dan
selanjutnya para murid Aliyah belajar kepada Kiyai. Dengan cara ini banyak
keuntungan yang didapat. Dengan system ini, seorang murid tidak hanya menguasai
ilmunya dengan baik juga memperoleh pengalaman mengajar, memperoleh pengakuan
terhadap ilmunya, menimbulkan rasa percaya diri, menumbuhkan keikhlasan dan
terlaksana program pendidikan gratis bagi orang-orang yang kurang mampu.
Pengalaman pengajar selama bertahun-tahun jauh lebih matang daripada pengalaman
mengajar hanya satu semester pada Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang
dilaksakan di fakultas-fakultas keguruan. Dalam rangka pembinaan mutu tenaga professional,
system guru berantai dan berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan
ada ahli pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil
melaksanakan tugasnya mengajar. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman yang
lama saja belum menjamin terciptanya guru yang professional. Seseorang mungkin
memiliki pengalaman sepuluh tahun itu secara peadagogik atau ilmu keguruan
bertentangan dengan prinsip-prinsip pengajaran yang didasarkan pada teori
pendidikan yang sahih.[27]
E.
Penutup
Berdasarkan
uraian makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa pembinaan tenaga guru yang profesional
perlu dilakukan, karena guru yang profesional yang akan medukung peningkatan
mutu pendidikan.
2. Guru yang professional dalam pandangan
Islam selain memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan akademik,
juga harus didasarkan visi dam spirit ajaran Islam, sehingga memiliki makna
ibadah kepada Allah SWT, dan terhindar dari pengaruh materialism dan hedonism
yang menjadi sebab jatuhnya mutu pendidikan.
3. Dalam rangka meningkatkan guru profesional,
perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah keguruan,
kolaborasi antara fakultas non keguruan dan keguruan, melibatkan kaum profesional
sebagai tenaga pengajar pada pendidikan profesi keguruan, dan dengan menerapkan
system magang, konsep guru berantai dan berjenjang, serta tutor teman sebaya
yang dimonitor, disupervisi dan dibina oleh guru senior berpengalaman dan profesional
dalam mendidik calon-calon guru.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
Abuddin
Nata, Pendidikan dalam Kisah Mulia,
(Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2008), cet. I
Afnibar,
Memahami Profesi dan Kinerja Guru
(Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005)
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-Tsani
(Beirut: Da al Fikr, tp.th.)
Bukhari
Umar, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Amzah, 2010)
LIhat
Ki Supriyoko, Problematika Pendidikan
Profesi Guru, Kompas, Jum’at 31 oktober 2008
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002)
Rostiah
NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan,
(Jakarta: Bina Aksara, 1982)
Sayyid
Ahmad al Hasyim Bek Mukhtar al Ahadis al
Nabawiyah a al Hukm al Muhammadiyah, (Mesir: Mathba’ah Hijaziy bi al Qahirah
1367H/1958), Cet. IV
[1] Lihat Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Kalam Mulia: 2011), hal. 74
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hal. 217-219
[3] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002), hal. 74
[4] Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru
(Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005), hal.11
[5] Ibid. hal. 11
[6] Ibid., hal. 11
[7] Ibid., hal. 12
[8] Ibid., hal. 12-13
[9] Ibid., hal. 14
[10] Rostiah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta:
Bina Aksara, 1982), hal. 12
[11] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), hal. 92
[12] Ibid., Bukhari Umar,
hal. 95
[13] Ibid., Bukhari Umar,
hal. 95
[14] Ibid., Bukhari Umar,
hal. 96
[15] Ibid., Bukhari Umar,
hal. 96
[16] Ibid., Bukhari Umar,
hal. 95-97
[17] Lihat Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy,
al-Mujallid al-Tsani (Beirut: Da al Fikr, tp.th.), hal.70
[18] Lihat Ahmad Musthafa
al Maraghi, Tafsir al Maraghiy, al
Mujalid al Tsani, (Beirut: Dar al Fikr, tp. Th.), hal. 70
[19] Lihat Abuddin Nata, Pendidikan dalam Kisah Mulia, (Jakarta:
UIN Jakarta Pers, 2008), cet. I, hal. 29-30
[20] Lihat Ahmad Mustafa
al Maraghi, hal. 70
[21] Lihat Sayyid Ahmad al
Hasyim Bek Mukhtar al Ahadis al Nabawiyah
a al Hukm al Muhammadiyah, (Mesir: Mathba’ah Hijaziy bi al Qahirah
1367H/1958), Cet. IV, hal. 19
[22] Lihat Ahmad Musthafa
al maraghy, hal. 69
[23] Lihat Abuddin Nata, pendidikan dalam kisah mulia,. hal.
22-23
[24] Lihat Abuddin Nata, hal. 228
[25] Ibid., hal. 228
[26] LIhat Ki Supriyoko, Problematika Pendidikan Profesi Guru,
Kompas, Jum’at 31 oktober 2008
[27] Lihat Abuddin Nata,
hal. 229
Tidak ada komentar:
Posting Komentar