Jumat, 22 April 2016

PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN


PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN
MUTU PENDIDIKAN

Oleh: Sopiatun Nahwiyah


A.    Pendahuluan
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial saat ini, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi krisis nilai-nilai kultural tersebut. Pendidikan harus memiliki mutu agar dapat menghadapi permasalahan tersebut, dengan demikian pendidikan harus meningkatkan profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan karena kehadiran guru dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang penting, peran guru belum dapat digantikan oleh teknologi seperti radio, televise, tape recorder, internet, computer maupun teknologi yang paling modern. Banyak unsur manusiawi yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang hanya didapatkan dari guru.[1]
Kajian tentang profesionalisme guru dan mutu pendidikan ini juga menarik untuk dibahas karena antara profesionalisme guru dengan mutu pendidikan ini sangat erat sekali kaitannya. Guru yang profesional akan menciptakan mutu pendidikan yang bagus dan sebaliknya guru yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya akan menjatuhkan mutu pendidikan.
Berikut ini beberapa hal yang mendorong pentingnya profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata dalam bukunya kapita selekta pendidikan Islam.
1.      Setelah lebih lima puluh tahun Indonesia merdeka, barulah timbul perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah republik Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Perhatian ini antara lain dilakukan melalui perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional, dan ditetapkannya anggaran pendidikan 20 % dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN), juga keluarnya undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 47 tahun 2008 tentang guru, ditetapkannya berbagai paradigma baru: visi pendidikan nasional, kurikulum pendidikan, proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Semua itu pada intinya ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab oleh para penyelenggara pendidikan, pemangku kepentingan, stakeholder dan sebagainya, dan bukan hanya sekedar untuk mengejar kenikan gaji dan tunjangan.
2.      Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat, bahwa peningkatan mutu pendidikan sebagaimana tersebut di atas pada akhirnya bermuara kepada tersedianya tenaga pendidik (guru dan dosen) yang bermutu. Tersedianya dana yang besar, sarana dan prasarana yang lengkap, serta berbagai komponen pendidikan lainnya yang serba baru, belum menjamin tercapainya tujuan peningkatan mutu pendidikan, jika mutu pendidikannya tidak ditingkatkan. Pernyataan ini mengingatkan tentang pentingknya meningkatkan mutu pendidik sebagai upaya strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kesadaran peningkatan mutu tenaga pendidik ini sekarang sedang tumbuh, dan karenanya perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
3.      Tenaga pendidik yang bermutu dan professional antara lain wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang dperoleh melalui pendidikan profesi. Hal ini mengingatkan tentang pentingnya dilakukan pendidikan profesi keguruan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Kebijakan ini ditempuh, mengingat bahwa pembina mutu tenaga pendidik bukanlah perkara yang mudah.[2]
Selain dari beberapa hal di atas, perlunya peningkatan profesionalisme guru juga disebabkan bahwa guru merupakan pendidik yang kehadirannya dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang penting, peranan guru itu belum dapat digantikan oleh teknologi seperti televisi, tape recorder, internet, computer maupun teknologi yang paling modern. Banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan keteladanan, yang diharapkan dari hasil proses pembelajaran yang tidak dapat dicapai kecuali melalui pendidik.[3]
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pentingnya profesionalisme guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan merujuk kepada berbagai undang-undang peraturan, berbagai kebijakan pemerintah, berbagai referensi kependidikan, hasil pengamatan dan pengalaman, tulisan ini akan mencoba menawarkan sebuah usulan tentang langkah-langkah strategis dalam membina mutu guru agar menjadi guru yang profesional, dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian profesionalisme guru dan isyarat-isyarat ayat al Quran dan Hadis tentang perlunya peningkatan mutu profesionalitas.

B.     Pengertian Profesionalisme Guru
Guru dan profesinya tidak dapat dipisahkan. Sebutan istilah guru dipergunakan terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini terkait dengan kegiatan mengajar dan mendidik. Pekerjaan mengajar dan mendidik merupakan sebuah profesi.
1.      Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang, secara rinci Imran Manan dalam buku karangan Dra. Afnibar, menyatakan:
Profesi adalah kedudukan atau jabatan yang memerlukan ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh sebagian lewat pendidikan atau perkuliahan yang bersifat teoritis dan disertai dengan praktek, diuji dengan sejenis bentuk ujian baik diuniversitas atau lembaga yang diberi hak untuk itu dan member kepada orang-orang yang memilikinya (setifikat, lisence, brevet) suatu kewenangan tertentu dalam hubungannya dengan kliennya.[4]

Mc. Culy dalam Afnibar menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan yang senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian secara langsung dipergunakan demi kepentingan umum.[5] Dalam arti lebih luas Sikun Pribadi dalam Afnibar menyatakan:
Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. [6]

Terkait dengan definisi tersebut, Sikun Pribadi, selanjutnya menyatakan profesi itu adalah suatu lembaga yang mempunyai otoritas yang otonom, karena didukung oleh beberapa criteria:
a.       Spesialisasi ilmu sehingga mengandung arti keahlian;
b.      Kode etik yang direalisasikan dalam melaksanakan profesi, karena hakikatnya ialah pengabdian kepada masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri;
c.       Kelompok yang tergabung dalam profesi, yang menjaga jabatan itu dari penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak kompeten dengan pendidikan serta sertifikasi mereka yang memenuhi syarat-syarat yang diminta;
d.      Masyarakat luas yang memafaatkan profesi tersebut;
e.       Pemerintah yang melindungi profesi dengan undang-undangnya.[7]
Lebih lanjut Moh. Ali dalam bukunya Afnibar mengemukakan syarat-syarat profesi:
a.       Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b.      Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c.       Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
d.      Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
e.       Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
f.       Memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
g.      Memiliki klien/objek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya guru dengan muridnya.
h.      Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.[8]
Dari kedua pendapat ahli di atas, terdapat persamaan dalam aspek spesialisasi, kode etik, organisasi profesi, dan pemakai jasa. Hal tersebut memperlihatkan persamaan persepsi dalam memandang arti profesi, sekalipun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut melengkapi dari pengertian profesi.
2.      Pengertian Profesi Guru
Berdasarkan uraian tentang pengertian profesi di atas, maka dapat dianalisis tentang pengertian profesi guru. Profesi guru dalam keputusan National Education Association (NEA) dalam Afnibar dinyatakan syarat-syarat guru yaitu:
Melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka) memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, yang menentukan standarnya sendiri, mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi dan mempunyai organisasi profesi yang kuat dan terjalin erat.[9]

Dari keterangan di atas, dapatlah dianalisis keterkaitan persyaratan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi:
a.       Pekerjaan sebagai guru memerlukan pendidikan khusus yaitu melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);
b.      Memberi manfaat pada masyarakat yakni mendidik sumber daya manusia yang berkualitas;
c.       Memiliki kode etik yaitu kode etik profesi guru;
d.      Memiliki subjek sasaran yang jelas yaitu para siswa di sekolah;
e.       Keberadaannya sangat dibutuhkan dan diakui oleh masyarakat dan memiliki organisasi profsi, yakni organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan demikian jelaslah pekerjaan guru adalah suatu profesi.
3.      Guru yang Profesional dalam Perspektif Islam
Untuk menjadi guru yang professional tidaklah mudah karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Hal tersebut karena potensi merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk menjawab semua rangsangan yang datang darinya.
W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. Definisi ini mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri menguasai sejumlah pengetahuan, keterampian dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruan, agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memnuhi keinginan dan harapan peserta didik.[10]
Dalam buku Bukhari Umar dijelaskan bahwa pendidik Islam yang professional harus memiliki kompetensi yang lengkap, meliputi:
a.       Penguasaan materi al islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang yang menjadi tugasnya.
b.      Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasi.
c.       Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
d.      Memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keprluan pengembangan pendidikan Islam di masa depan.
e.       Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.[11]
Di Indonesia, masalah kompetensi pendidik, terutama guru selalu dikembangkan. Dalam kebijakan Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang guru, Bab II, Pasal 2 ditegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, seerta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Uraian tentang kompetensi dimaksud adalah sebagai berikut.[12]
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesi yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
a.       Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b.      Pemahaman terhadap peserta didik;
c.       Pengembangan kurikulum atau silabus;
d.      Perancangan pembelajaran;
e.       Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f.       Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g.      Evaluasi hasil belajar; dan
h.      Pengembangan peseta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[13]
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:
a.       Beriman dan bertakwa
b.      Berakhlak mulia
c.       Arif dan bijaksana
d.      Demokratis
e.       Mantap
f.       Berwibawa
g.      Stabil
h.      Dewasa
i.        Jujur
j.        Sportif
k.      Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat
l.        Secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan
m.    Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.[14]
Kompetensi social merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk:
a.       Berkomunikasi lisan, tulis atau isyarat secara santun
b.      Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
c.       Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik
d.      Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan system nilai yang berlaku, dan
e.       Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.[15]
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, atau seni dan budaya yang diampu, yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a.       Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu,
b.      Konsep serta metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang akan diampu.[16]

C.    Isyarat al Quran tentang Profesionalisme Guru
Di dalam al Quran surat an Nisa, ayat 58 Allah menyatakan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah maha member pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.”[17]
Dengan mengutip hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Imam al-Maraghi, berpendapat, bahwa ayat tersebut turun berkenaan penyerahan kunci ka’bah dari Rosulullah SAW kepada Usman Ibn Thalhah pada peristiwa Fathul Makkah. Pada saat itu ada di antara keluarga nabi Muhammad SAW, seperti Ali Ibn Abi Thalib, al Abbas yang ingin mendapatkan kepercayaan mengurusi kunci ka’bah tersebut. Namun, nabi Muhammad SAW tetap menyerahkan kunci ka’bah itu kebada Usman Ibn Thalhah, karena ia dianggap lebih ahli, berpengalaman dan professional dibandingkan yang lain.[18]
Selanjutnya Imam Bukhari salah seorang penghimpun hadis yang sangat terkenal dan disegani, mengungkapkan bahwa sebelum hijrah ke Madinah, nabi ingin sekali memasuki ka’bah untuk beribadah. Ia meminta Usman Ibn Thalhah memberikan kunci ka’bah tersebut agar beliau dapat membukanya. Tetapi Usman menolak memberikan kunci ka’bah tersebut. Waktu terus bergulir, dan Nabi berhasil menakhlukkan Mekkah dan menguasai ka’bah dan mengambil kuncinya dari Usman Ibn Thalhah. Namun, setelah beliau beribadah di dalam ka’bah, beliau menyerahkan kembali kunci ka’bah tersebut kepada Usman Ibn Thalhah, sekalipun di antara sahabat dan keluarga dekat Nabi menginginkan diserahi kunci ka’bah tersebut.[19]
Dari ayat 58 surat al Nisa berserta penjelasan tentang asbab nuzul-nya sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa catatan penting dalam hubungannya dengan profesionalisme sebagai berikut.
Pertama, seorang tenaga yang professional adalah seorang yang bersifat al amin (dipercaya), al hafiz (dapat menjaga amanah), dan al wafiya (yang merawat sesuatu dengan baik). Imam al Maraghi lebih lanjut mejelaskan makna amanah yang terdapat pada ayat tersebut menjadi tiga bagian, yaitu amanah al abd ma’a rabbihi, amanah al abd ma’a al naas, dan amanah al abd ma’a nafsihi. Amanah al abd ma’a rabbihi adalah sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oelh seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti memelihara segala perintahnya dan menghentikan segala yang dilarangnya serta mengamalkan syariatnya dalam rangka mendapatkan manfaat dan mendekatkan diri kepadanya. Sedangkan amanah al abd ma’a al naas adalah sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap orang lain, seperti seorang pemimpin yang berbuat adilterhadap rakyatnya, seorang ulma yang berbuat adil terhadap orang-orang awam dan menunjukinya kepada aqidah yang benar, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat dengan jalan memberikan pendidikan yang baik dan usaha yang halal. Selanjutnya amanah al abd ma’a nafsihi, adalah seseorang yang menggunakan potensi dan kompetensinya hanya untu sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan baginya di dunia dan di akhirat, menjaga dirinya dari hal-hal yang merugikan, memelihara diri dari berbagai penyakit dan mempelajari ilmu kesehatan.[20] Dengan demikian, tugas pendidik adalah termasuk amanah al abd ma’a al naas. Pandangan mendidikan sebagai amanah ini perlu dimiliki oleh seorang guru yang professional, sehingga tidak kehilangan visi dan spirit transendentalitas, yakni pandangan dan semangat, bahwa mendidik adalah merupakan amanah yakni sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan sebagai panggilan Tuhan. Visi dan spirit ini perlu dijaga, agar para pendidik tidak tergoda oleh hal-hal yang bersifat materialistic dan hedonistic yang merupakan pangkal kehancuran dan kejatuhan mutu pendidikan. Praktik jual beli nilai, jual beli gelar, membocorkan soal ujian Negara, dan lain yang merusak mutu pendidikan terjadi disebabkan hilangnya visi dan spirit mendidik sebagai amanah.
Kedua, seorang tenaga pendidik professional dalam pandangan Islam adalah seorang pendidik yang memiliki keahlian. Kepercayaan yang diberikan oleh Rosulullah SAW kepada Usman Ibn Thalhah untuk menjaga kunci ka’bah tersebut, karena Usman Ibn Thalhah sudah teruji keahliannya secara bertahun-tahun. Nabi Muhammad SAW tidak terpengaruh untuk menyerahkan kunci ka’bah tersebut kepada orang lain termasuk keluarga dan sahabat dekatnya yang belum teruji keahliannya. Walaupun demikian kuat desakan sahabat dan keluarga Nabi tersebut menyerahkan kunci ka’bah kepadanya, namun Nabi Muhammad SAW tetap tidak tergoyahkan. Nabi Muhammad SAW tetap professional, tidak tergoyahkan untuk bertindak kolusi atau nepotisme, sehingga dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW menegaskan: Jika suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinyam maka tunggulah kerusakannya.[21]
Jatuhnya mutu pendidikan di Indonesia saat ini antara lain, karena banyak tenaga guru yang tidak memiliki keahlian, namun berani tampil sebagai pendidik. Kerusakan dan jatuhnya mutu pendidikan yang disebbakna oleh guru yang tidak ahli ini masih banyak terjadi. Mereka yang tidak memiliki keahlian berani mengajar, karena kerusakan mutu pendidikan yang disebabkan guru tidak ahlli tersebut tidak terjadi seketika, melainkan setelah dua puluh lima tahun pendidikan tersebut dilakukan. Hal ini berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter, yang apabila salah dalam melakukan diagnose dan terapi, akibatnya langsung dapat dilihat pada pasiennya. Karena itu, seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang dokter tidak berani melakukan praktik medis, sedangkan mereka yang tidak memiliki keahlian dalam bidang pendidikan tetap berani melakukan tugas mendidik, karena akibatnya bersifat jangka panjang. Karena itu pendidik ada lembaga pengawas yang memonitor dan mengawasi adanya guru-guru yang tidak memiliki keahlian, namun tetap mendidik. Institusi perhimpunan wali murid, seperti majelis madrasah atau komite sekolah harus mengawasi praktik guru yang tidak memiliki keahlian yang berani melakukan tugas pendidikan.
Ketiga, seorang pendidik yang professional dalam pandangan Islam adalah seorang yang bertindak adil, yakni memberikan hak kepada yang memilikinya dengan cara yang paling efektif atau tidak berbelit-belit.[22] Kebencian terhadap seseorang karena kejelekan misalnya, tidak boleh sampai menghalanginya untuk memberikan sesuatu yang menjadi halknya. Kejengkelan seseorang guru terhadap muridnya, karena tingkahlakunya, tidak boleh mengurangi nilai ujian, perhatian, dan kasih sayang kepadanya. Ini sesuatu yang berat, tapi itulah sikap profesional.
Pelaksanaan keadilan dalam kaitan dengan profesionalisme ini dapat dipahami dari peristiwa tentang Siti Aisyah dengan safwan bin al muathal. Peristiwa tersebut secara ringkas dapat ditemukan, bahwa dalam suatu perjalanan kembali dari dari perkampungan Bani al Mustaqim, Siti Aisyah tertinggal dari rombongan. Aisyah kemudian ditolong oleh seorang sahabat nabi yang bernama Safwan bin al Muathal. Setelah peristiwa itu, muncul fitnah, bahwa antara Aisyah dengan Safwan ada apa-apa. Peristiwa ini dalam sejarah Islam sangat dikenal dengan nama kasus fitnah. Salah seorang yang ikut bertanggung jawab dalam menyebarkan fitnah tersebut adalah saudara/pegawai Abu Bkar yang bernama Mistah. Abu Bakar mengetahui bahwa Mistah bergabung dalam komplotan penyebar fitnah yang mencemarkan nama baik putrinya yang tidak bersalah. Karena Abu Bakar jengkel, maka ia menghentikan tunjangan hidup selama itu diberikan kepada Mistah, sebagai salah seorang yang tergolong miskin. Ketika Abu Bakar memutuskan untuk menghentikan tunjangan bagi Mistah, maka Allah SWT menurunkan ayat 22 surat al Nur, yang artinya: Janganlah di antara kamu yang terhormat dan kaya pernah bersumpah untuk tidak memberikan sumbangan bagi keluarga yang miskin dan para musafir yang berjalan karena Tuhan. Lebih baik mereka berlapang dada dan member maaf. Apakah engkau ingin Tuhan memaafkan kesalahanmu? Sesungguhnya Tuhan maha pemaaf lagi maha penyayang.
Berkenaan dengan ayat tersebut, suatu hari, seseorang menghampiri Abu Bakar dan menghujatnya. Kala itu Abu Bkar sedang duduk bersama Nabi. Abu Bakar mendengarkan cercaan, tetapi dia tetap diam dan tidak berkata apa-apa. Orang it uterus menghina Abu Bakar, tetapi Abu Bkar tetap tenang. Ketika orang-orang itu terus-menerus meluncurkan kata-kata hinaan tanpa henti, Abu Bakar tidak dapat menahan diri lagi, dan dia membalas kata-kata kasar orang itu. Melihat dan mendengar kejadian tersebut, Nabi segera bangkit dan meninggalkan Abu Bakar. Lalu Abu Bakar berkata: mengapa anda meninggalkan tempat duduk anda ya Rosulullah?. Nabi menjawab: selama engkau dapat menahan diri untuk tetap diam, maka para malaikatlah yang menjawab sebagai wakilmu. Tetapi segera setelah engkau membuka mulut, maka malaikatpun pergi meninggalkanmu.[23]
Kisah tersebut memperlihatkan karakter seseorang professional yang ditandai dengan bersikap adil, tenang dalam menghadapi masalah, tidak mudah terpancing, dan tidak kehilangan akal sehatnya. Kejengkelan Abu Bakar terhadap Mistah, pembantunya, tidak boleh menyebabkan ia menghentikan tunjangan hidupnya, dan banyaknya fitnah dan gunjingan yang menimpa dirinya, tidak boleh menyebabkan ia kehilangan akal sehatnya. Nabi Muhammad SAW dalam kisah tersebut sangat professional . ia tetap adil, tenang dan tidak termakan isu. Kisah ini dapat pula dihubungkan dengan sebuah pengandaian sebagai berikut. Jika ada seorang pasien yang pernah menjahati dan memusushi seorang dokter, dan kebetulan pasien tersebut datang berobat kepada dokter tersebut, kira-kira apa yang harus dilakukan. Jika dokter tersebut seorang yang professional, ia tetap melayani dan merawat pasien tersebut dengan sebaik-baiknya. Rasa jengkel dan rasa sakit hatinya, tidak boleh menyebabkan ia berniat membunuh pasiennya itu, seklaipun peluang itu ada di hadapannya. Kisah dan ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa menegakkan profesionalisme itu sering kali berhadapan dengan problema yang pelik. Seorang yang professional adalah orang yang lulus dalam menghadapi dan mengatasi problema tersebut. Ia tetap bersikap adil, tenang, berkepala dingin, tidak kehilangan akal sehat, sabar dan pemaaf. Dalam kaitan ini Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, hendakah kamu jadi prang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena alalh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali=kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilalah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. (QS al Maidah: 5-8).
Keterangan ayat di atas dan kisah di atas menunnjukan. Bahwa dalam Islam masalah profesionalisme bukan hanya ditunjukan dengan keahlian dan kemahiran dalam melakukan suatu pekerjaan, melainkan berkaitan dengan amanah dan tanggung jawab dengan Tuhan, masyarakat dan diri sendiri. Profesionalisme terkait dengan sikap berlaku adil, tenang, tidak panic, tidak mudah dihasut, sabar dan pemaaf. Sikap profesionalisme dalam Islam, bukan hanya dalam teori melainkan telah ditunjukkan dan dipraktikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sikap profesionalisme yang dirumuskan dalam undang-undang dan peraturan sebagaimana disebutkan di atas. Hal itu perlu dilakukan oleh guru yang beragama Islam, sehingga di samping memiliki kesamaan kompetensi profesionalisme dengan guru lainnya, seorang guru muslim memiliki kekhususuan kompetensi profesionanya yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

D.    Langkah-langkah Mencetak Guru Profesional
Perhatian terhadap pembinaan guru yang profesioanl merupakan agenda yang sudah berlangsung sejak nabi Adam AS, zaman dinasti dan kerajaan di India, Cina, Persia, Mesir Kuno, Yunani dan seterusnya. Di Indonesia, perhatian terhadap pembinan guru professional sudah dilaksanakan sejak zaman kerajaan Hindu, Budha, zaman kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde lama, Orde baru, era reformasi sekarang. Pembinaan guru yang professional tersebut disesuaikan dengan kenutuhan zaman.
Pembinaan guru professional di orde lama dan orde baru misalnya, tampak lebih baik dari masa sekarang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, di masa orde lama dan orde baru, setiap orang yang ingin menjadi guru harus lulusan pendidikan keguruan. Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ada pula program D-II PGSD (Pendiidkan Guru Sekolah Dasar), D-III PGSM (Pendidikan Guru Sekolah Menengah). Selanjutnya untuk guru MI ada pendidikan Guru agama 4 tahun (PGA 4 Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah ada pendidikan guru agama 6 tahun (PGA 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM dapat melanjutkan ke IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan PGA 6 Tahun dapat melanjutkan ke fakultas tarbiyah. Dengan demikian, mereka yang masuk ke fakultas keguruan (IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki teori dan praktik ilmu keguruan yang matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini tidak ada lagi, sehingga input yang masuk ke fakultas keguruan tidak memiliki bekal ilmu dasar keguruan yang memadai. Untuk itu sekolah-sekolah keguruan tersebut perlu dipertimbangkan untuk dihidupkan kembali.[24]
Kedua, guna memperoleh kompetensi akademik dan peadagogik yang matang, seharusnya pola pembinaan tenaga guru dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru bidang fikih misalnya, sebaiknya tamatan S-I Fakultas Syari’ah, kemudian mengikuti pendidikan profesi keguruan di fakultas tarbiyah. Demikian pula untuk mendapatkan guru yang mahir dalam bidang tafsir, diambil dari jurusan tafsir, guru yang mahir dalam bahasa Arab diambil dari fakultas Dirasah Islamiah atau fakultas Adab jurusan sastra Arab yang kemudian mengikuti pendidikan profesi keguruan di fakultas Tarbiyah. Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan.[25]
Ketiga, bahwa tenaga pengajar pada pendidikan profesi sebaiknya kaum profesional yang selain memiliki keahlian, kemahiran dan kecakapan, juga memiliki pengalaman praktis di bidangnya. Guru senior yang berprestasi kiranya lebih tepat diposisikan sebagai kaum profesional untuk mengajar pendidikan profesi guru. Berkenaan dengan ini Ki Supriyoko berpendapat, bahwa kaum professional wajib hukumnya menjadi tenaga pengajar dalam pendidikan profesi guru. Jangan sampai tenaga pengajar dalam program ini didominasi akademisi, meskipun mereka bergelar doctor atau professor. Jika hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ada ubahnya dengan pendidikan akademik sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya.[26]
Keempat, bahwa pendidikan calon guru professional seharusnya dilakukan melalui system guru berjenjang dan berantai. System ini dijumpai pada pendidikan gratis untuk orang miskin sebagaimana dijumpai di pesantren. Pada tahun 70-an, pesantren Jauharun Naqiyah menerapkan system guru berjenjang dan berantai ini. Caranya, seorang murid yang cerdas dan pandai dari tingkat Tsanawiyah misalnya diberi kepercayaan mengajar murid Ibtidaiyah; dan seorang murid yang cerdas dan pandai di tingkat Aliyah diberi kesempatan mengajar di tingkat Tsanawiyah; dan selanjutnya para murid Aliyah belajar kepada Kiyai. Dengan cara ini banyak keuntungan yang didapat. Dengan system ini, seorang murid tidak hanya menguasai ilmunya dengan baik juga memperoleh pengalaman mengajar, memperoleh pengakuan terhadap ilmunya, menimbulkan rasa percaya diri, menumbuhkan keikhlasan dan terlaksana program pendidikan gratis bagi orang-orang yang kurang mampu. Pengalaman pengajar selama bertahun-tahun jauh lebih matang daripada pengalaman mengajar hanya satu semester pada Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksakan di fakultas-fakultas keguruan. Dalam rangka pembinaan mutu tenaga professional, system guru berantai dan berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan ada ahli pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil melaksanakan tugasnya mengajar. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman yang lama saja belum menjamin terciptanya guru yang professional. Seseorang mungkin memiliki pengalaman sepuluh tahun itu secara peadagogik atau ilmu keguruan bertentangan dengan prinsip-prinsip pengajaran yang didasarkan pada teori pendidikan yang sahih.[27]

E.     Penutup
Berdasarkan uraian makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Bahwa pembinaan tenaga guru yang profesional perlu dilakukan, karena guru yang profesional yang akan medukung peningkatan mutu pendidikan.
2.      Guru yang professional dalam pandangan Islam selain memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan akademik, juga harus didasarkan visi dam spirit ajaran Islam, sehingga memiliki makna ibadah kepada Allah SWT, dan terhindar dari pengaruh materialism dan hedonism yang menjadi sebab jatuhnya mutu pendidikan.
3.      Dalam rangka meningkatkan guru profesional, perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah keguruan, kolaborasi antara fakultas non keguruan dan keguruan, melibatkan kaum profesional sebagai tenaga pengajar pada pendidikan profesi keguruan, dan dengan menerapkan system magang, konsep guru berantai dan berjenjang, serta tutor teman sebaya yang dimonitor, disupervisi dan dibina oleh guru senior berpengalaman dan profesional dalam mendidik calon-calon guru.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Kisah Mulia, (Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2008), cet. I
Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru (Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005)
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-Tsani (Beirut: Da al Fikr, tp.th.)
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010)
LIhat Ki Supriyoko, Problematika Pendidikan Profesi Guru, Kompas, Jum’at 31 oktober 2008
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)
Rostiah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982)
Sayyid Ahmad al Hasyim Bek Mukhtar al Ahadis al Nabawiyah a al Hukm al Muhammadiyah, (Mesir: Mathba’ah Hijaziy bi al Qahirah 1367H/1958), Cet. IV










[1] Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Kalam Mulia: 2011), hal. 74
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 217-219
[3] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 74
[4] Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru (Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005), hal.11
[5] Ibid. hal. 11
[6] Ibid., hal. 11
[7] Ibid., hal. 12
[8] Ibid., hal. 12-13
[9] Ibid., hal. 14
[10] Rostiah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal. 12
[11] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 92
[12] Ibid., Bukhari Umar, hal. 95
[13] Ibid., Bukhari Umar, hal. 95
[14] Ibid., Bukhari Umar, hal. 96
[15] Ibid., Bukhari Umar, hal. 96
[16] Ibid., Bukhari Umar, hal. 95-97
[17] Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-Tsani (Beirut: Da al Fikr, tp.th.), hal.70
[18] Lihat Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghiy, al Mujalid al Tsani, (Beirut: Dar al Fikr, tp. Th.), hal. 70
[19] Lihat Abuddin Nata, Pendidikan dalam Kisah Mulia, (Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2008), cet. I, hal. 29-30
[20] Lihat Ahmad Mustafa al Maraghi, hal. 70
[21] Lihat Sayyid Ahmad al Hasyim Bek Mukhtar al Ahadis al Nabawiyah a al Hukm al Muhammadiyah, (Mesir: Mathba’ah Hijaziy bi al Qahirah 1367H/1958), Cet. IV, hal. 19
[22] Lihat Ahmad Musthafa al maraghy, hal. 69
[23] Lihat Abuddin Nata, pendidikan dalam kisah mulia,. hal. 22-23
[24] Lihat  Abuddin Nata, hal. 228
[25] Ibid., hal. 228
[26] LIhat Ki Supriyoko, Problematika Pendidikan Profesi Guru, Kompas, Jum’at 31 oktober 2008
[27] Lihat Abuddin Nata, hal. 229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar