Selasa, 15 Mei 2018

MEDIA DAN SUMBER PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ISLAM

A. MEDIA PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Alat/ Media Pendidikan
Zakiah Daradjat (1984) menyebutkan pengertian alat pendidikan sama dengan media pendidikan, sarana pendidikan. Term alat berarti barang sesuatu yang dipakai untuk mencapai suatu maksud. Sedangkan media berasal dari bahasa Latin dan bentuk jamak dari medium (Omar Hamalik, 1989) Secara harfiah berarti perantara dan pengantar (W.J.S. Poerdarminta, 1982).
Dalam hal media banyak terdapat batasan rumusan para ahli:
Gegne mengatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang merangsangnya untuk belajar.
Briggs mendefinisikan segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Vernous menyebutkan bahwa media pendidikan adalah sumber belajar dan dapat juga diartikan dengan manusia dan benda atau peristiwa yang membuat kondisi siswa mungkin memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap.

2. Jenis Alat/ Media Pendidikan
a. Alat pendidikan yang bersifat benda
Menurut Zakiah Daradjat alat pendidikan yang berupa benda adalah: Pertama, media tulis, seperti al Quran, Hadist, Tauhid, Fiqh, Sejarah. Kedua, benda-benda alam seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan, dsb. Ketiga, gambar-gambar yang dirancang seperti grafik. Keempat, gambar yang diproyeksi, seperti video, transparan, in-focus. Kelima, audio recording, seperti kaset, tape radio.
Omar Hamalik mengatakan alat pendidikan terdiri dari: Pertama, bahan-bahan cetakan atau bacaan, dimana bahan-bahan ini lebih mengutamakan kegiatan membaca atau penggunaan symbol-simbol kata dan visual. Kedua, alat-alat audio visual yakni alat-alat yang dapat dogolongkan pada alat tanpa proyeksi seperti papan tulis dan diagram, media pendidikan tiga dimensi, seperti benda asli atau peta, yang kemudian alat pendidikan yang menggunakan teknik, seperti radio, tape recorder, transparansi, in focus, internets. Ketiga, sumber-sumber masyarakat, seperti objek-objek peninggalan sejarah. Keempat, kumpulan benda-benda, seperti dedaunan, benih, batu dan sebagainya.
b. Alat pendidikan yang bukan benda
Selain alat/ media berupa benda, terdapat pula alat/ media yang bukan benda. Di antara alat/ media pengajaran yang bukan benda itu adalah: keteladanan, perintah dan larangan, ganjaran dan hukuman.

3. Pengaruh Alat/ Media dalam Pendidikan Islam
Di dalam pendidikan Islam, alat /media itu jelas diperlukan. Sebab alat/ media pengajaran itu mempunyai peranan yang besar yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.
Menurut Yusuf Hadi Miarso dkk, menyatakan bahwa alat/media mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan antara lain: (1) membuat konkrit konsep yang abstrak, (2) membawa objek yang sukar didapat ke dalam lingkungan belajar siswa, (3) menampilkan objek yang terlalu besar, (4) menampilkan objek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, (5) mengamati gerakan yang terlalu cepat, (6) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa, (7) membangkitkan motivasi belajar, dan (8) menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.
Menurut Abu Bakar Muhammad bahwa alat/media itu mempunyai kegunaan antara lain adalah (1) mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelas materi pelajaran yang sulit, (2) mampu mempermudah pemahaman, dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan menarik, (3) merangsang anak untuk bekerja dan menggerakkan naluri kecintaan menelaah (belajar) dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu, (4) membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat, memperhatikan dan memikirkan suatu pelajaran, serta (5) menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan) mempertajam, indera, melatihnya, memperhalus perasaan dan cepat belajar.




B. SUMBER PEMBELAJARAN (LEARNING RESOURCES)
1. Pengertian Sumber Belajar
Yang dimaksud sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat di mana bahan pelajaran terdapat atau asal belajar seseorang. Dengan demikian sumber belajar itu merupakan bahan untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru. Sebab pada hakikatnya belajar adalah mendapatkan hal-hal yang baru.
Sumber belajar meliputi, pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar (AECT 1994), Menurut Dirjen Dikti (1983: 12), sumber belajar adalah segala sesuatu dan dengan mana seseorang mempelajari sesuatu. Degeng (1990: 83) menyebutkan sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat dipergunakan oleh si-belajar agar terjadi prilaku belajar.
Jadi Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu

2. Macam-Macam Sumber Belajar
a. Sumber Pokok
Al Quran dan Hadist
b. Sumber Tambahan
1) Manusia Sumber (Orang, masyarakat)
2) Bahan Pengajaran
3) Situasi Belajar
4) Mass Media
5) Alat dan Perlengkapan Belajar
6) Aktivitas (teknik)
7) Alam Lingkungan (alam lingkungan terbuka, alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah dan alam lingkungan manusia)
8) Perpuatakaan


3. Fungsi dan Pemanfaatan Sumber Belajar
a. Fungsi Sumber Belajar
Menurut Zainuddin, HRI, dkk, fungsi sumber belajar sebagai berikut:
1) Meningkatkan produktivitas pendidikan, dengan jalan Pertama, mempercepat laju belajar dan membantu guru/dosen untuk menggunakan waktu secara lebih baik, Kedua, menguarangi beban guru/dosen dalam menyajikan informasi, sehingga dapat banyak membina dan mengembangkan gairah belajar peserta didik/ mahasiswa.
2) Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan: mengurango control guru/dosen yang kaku dan tradisional; memberikan kesempatan bagi peserta didik. Mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.
3) Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran dengan jalan: perencanaan program pendidikan yang lebih sistematis, pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
4) Lebih memantapkan pengajaran dengan jalan, meningkatkan kemampuan manusia dengan berbagai media komunikasi, penyajian informasi dan data secara lebih konkrit.
5) Memungkinkan belajar secara seketika, karena dapat: mengurangi jurang pemisah antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya konkrit, memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas.

b. Pemanfaatan Sumber Belajar
Dalam pemanfaatan sumber belajar ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:
1) Identifikasi kebutuhan sumber daya
2) Mengidentifikasi potensi sumber belajar yang ada dan dimanfaatkan untuk pembelajaran
3) Pengelompokkan sumber belajar dalam kelompok
4) Mencari dan menganalisis relevansi antara kelompok sumber belajar dengan mata pelajaran yang diampu guru
5) Menentukan materi dan kompetensi untuk pelajaran
6) Pemanfaatan sumber-sumber belajar dalam pembelajaran.
Dalam pemanfaatan sumber belajar, guru mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik belajar agar belajar lebih mudah, lebih lancar, lebih terarah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar. Menurut Ditjend. Dikti (1983: 38-39), guru harus mampu: (a) Menggunakan sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. (b) Mengenalkan dan menyajikan sumber belajar. (c) Menerangkan peranan berbagai sumber belajar dalam pembelajaran. (d) Menyusun tugas-tugas penggunaan sumber belajar dalam bentuk tingkah laku. (e) Mencari sendiri bahan dari berbagai sumber. (f) Memilih bahan sesuai dengan prinsip dan teori belajar. (g) Menilai keefektifan penggunaan sumber belajar sebagai bagian dari bahan pembelajarannya. (h) Merencanakan kegiatan penggunaan sumber belajar secara efektif.

4. Jenis Sumber Belajar
Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:
a. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
b. Sumber belajar yang dimanfaatkan(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran
Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk: (1) pesan: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya (2) orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya; (3) bahan: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya; (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya; (5) pendekatan/ metode/ teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya; dan (6) lingkungan: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.

Minggu, 24 April 2016

BERBAGAI SISTEM DALAM KEHIDUPAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM



BERBAGAI SISTEM DALAM KEHIDUPAN YANG MEMPENGARUHI
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

A.    Pendahuluan
       Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam berada di tengah berbagai sistem yang ada dalam kehidupan manusia. Sistem tersebut mempengaruhi kualitas dan keberhasilan pendidikan Islam secara faktul  tidak bisa, dari sistem dalam kehidupan itu sendiri karena pendidikan itu merupakan sub dari sistem dari sistem kehidupan manusia secara makro. Bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sistem  yang terintegrasi dengan hampir semua sistem dalam kehidupan manusia yang melibatkan banyak unsur dan pihak yang saling mempengarahui. Pengaruh sistem-sistem tesebut disebut selama ia mampu menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan sebaliknya, dikatakan negatif  bila pengaruh tersebut justru menghambat keberhasilan tujuan pendidikan tersebut. 
      Selanjutnya sistem pendidikan Islam, yang selama ini di identikkan dengan sistem pesantren dan madrasah, dalam perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai sistem yang terdapat dalam kehidupan baik sistem sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Oleh karenanya makalah ini yang menjadi permasalahannya adalah berbagai sistem dalam kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam, semoga tulisan yang singkat ini akan sedikit menambah khazanah keilmuan tentang Ilmu Pendidikan Islam ditinjau dari judul tersebut.

B.     Sistem Ekonomi
Secara ekonomi merupakan aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam keluarga baik dalam keluarga rumah tangga rakyat (volkshuishouding).[1] Masalah pokok ekonomi menurut para pakar antara lain : (1) jenis dan jasa yang diproduksi, (2) sistem yang didistribusikan (untuk siapa barang dan jasa itu), (3) efesiensi penggunaan, (4) Inflasi, resesi,dan depresi, dan lain-lain.
Sistem ekonomi sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena menyangkut kebutuhnan pokok manusia, yang meliputi sandang, pangan, papan serta kebutuhan lainnya. Sistem ekonomi berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dan menjadi sebuah corak  masyarakat yang mengetahuinya.
Pendidikan dan ekonomi merupakan sistem yang mempunyai pengaruh timbal balik, saling mengait dan menunjang karena disatu sisi instusi pendidikan mempu menghasilkan tenaga kerja dan mampu membentuk manusia-manusia yang sanggup membangun masyarakat dan ekonomi Negara. [2] Sebaliknya ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangsa yang menentukan maju dan mundurnya. Lemah kuatnya, lamban-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa.[3] yang merupakan fungsi pendidikan.
Menurut laporan UNESCO Tahun 1957 yang dikemukan oleh Pleh Page Hasan Langgulung bahwa menurut kajian lapangan, semakin tersebar pendidikan di Negara maka semakin cepat pertumbuhan perekonomian Negara, berkaitan dengan semakin meningkatnya pembelajaran yang diberikan kepada pendidikan. [4] hal ini menyangkut kebijakan pemerintah sebagi instuisi dan bertanggung jawab terhadap tataran kehidupan masyarakat termasuk pendidikan.
Semakin banyak alokasi dana yang diperuntukan bagi pembinaan pendidikan maka semakin besar kemungkinan untuk pengembangan pendidikan yang pada gilirannya menunjang keberhasilan pendidikan itu sendiri. Tentu saja hal tersebut harus dibarengi dengan pengelolaan dana yang baik adanya pengelolaan atau menejemen yang baik, dan sebesar papun tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Ketresediaan alat-alat pendidikan yang tergolong pada perangkat keras seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, alat peraga dan perlengkapan lainnya, maupun perangkat lunak seperti pengelolaan kurikulum, metode mengajar, administrasi pendidikan tidak bisa terlepas dari pendanaan, artinya tanpa dana pendidikan yang berkualitas sangat sulit dilaksanakan.
Dari sejarah pendidikan Islam pada zaman pertengahan yakni zaman kemajuan dalam Islam, dapat diketahui tidak adanya kesadaran perlu biaya untuk membangun dan mengelola instuisi pendidikan yang bermutu. Dalam beberapa buku sejarah pendidikan Islam dinyatakan bahwa perdana menteri Mizan al-Mulk telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membiayai pendidikan. Dana  sebesar 600.000 dinar setiap tahun untuk pembiyayaan pendidikan sekolah madrasah yang diasuh oleh nya dan dana sebanyak 60.000 dinar untuk membiayayi madrasah Anizamiyah Bagdad saja. Bila dihitung dengan emas maka satu gram emas harganya 4,025 gram emas, maka biaya madrasah Nizamiyah mencapai 240 kg emas setahun untuk seluruh madrasah yang diasuhnya menghabiskan 2,4 ton emas dalam setahun. Ini adalah jumlah yang sangat besar. Bagi ilmuan yang menulis karya ilmiah maka diberi imbalan  sebesar berat timbangan buku yang ditulisnya.
Hal tersebut bisa terlaksana dikarenakan ekonomi Islam pada sat itu mencapai puncaknya dan sistem  perekonomian yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah sistem ekonomi Islam yang menuntut keredaan Allah SWT semata-mata.

C.    Sistem Politik
Sistem politik adalah pola hubungan dengan masyarakat yang dibentuk berdasarkan keoutusan-keputusan yang sah dan dilaksanakan dalam masyarakat. Sistem politik dapat dibedakan dari sistem lain : Pertama, daya jangkau yang universal, meliputi semua anggota, Kedua, control mutlak atas pemakain kekerasan fisik, Ketiga, hak membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima secarah absah, dan Emapat, keputusan bersifat otoritatif, artinya mengandung daya pengabsahan dan kerelaan yang besar karena keemepat ciri khas tersebut adalah juga ciri khas Negara, maka sistem politik dipakai sebagai kolektifitas hubungan dari suatu Negara. [5]
Eksistensi agama dalam Negara dan kaitannya dengan otoritas kepala Negara di ibaratkna al-Ghazali sebagai anak kembar.
وا الدين وا لملو ك تو اما ن فلا يستغني احد هما عن الاخر
Agama dan kekuasaan  (politik ) adalah dua anak yang kembar, keduannya itu tidak bisa dipisahkan).
Prinsip –prinsip politik pemerintahan, mneurut teori islam, Negara yang dibentuk seyogyannya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah, artinya, nilai-nilai syari’ah direailisir dalamkehidupan berbangsa dan bernegara. [6]
Endang Syaifuddin Anshari mengatakan : Negara adalah organisasi ( organ,  badan, atau alat), bangsa untuk mencapai tujuan… Bagi setiap muslim Negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridha’an Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesame manusia dan alam lingkungannya.[7]
 Selanjutnya sistem politik meliputi : sistem pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan siasat dan lain sebagainya, mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; kebijakan dalam menghadapi atau mengatasi masalah lain.[8]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa  politik sebagai sistem sangat erat pola hubungannya dengan masyarakat dan negara. Wujud dari hubungan ini adalah lahirnya istilah demokrasi. Dalam prakteknya, demokrasi sebagai sistem bagi sebuah masyarakat akan memberikan corak/karakteristik terhadap segala aspek kehidupan yang salah satunya adalah aspek pendidikan.
Pengaruh politik terhadap pendidikan Islam adanya kebijakan pemerintah suatu Negara memberikan perhatian dan dukungan, baik moral maupun materil, untuk terlaksanakannya pendidikan Islam. Keadaan seperti ini akan memberi pengaruh yang sangat besar untuk keberhasilan pendidikan Islam. Apabila suatu negara mengalami kegoncangan politiknya, atau dipimpin oleh orang yang anti terhadap Islam, maka mustahil pendidikan Islam akan menjalankan perannya secara baik.
Pendidikan yang bermutu juga akan mempengaruhi perkembangan lajunya politik generasi yang berkulitas munculnya dari Negara yang berkualitas, karena pendidikan yang berkulitas akan mempengaruhi peradaban suatu bangsa. Apabila hal itu terjadi maka akan mempengaruhi sistem ekonomi yang baik.[9]
Kalau dilihat perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut seirama perkembangan politik  di Indonesia.pada zaman kolonial belanda pendidikan tidak diberikan di sekolah, hal ini dapat dimengerti karena pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan pendidikan yang netral agama (sekuler), walaupun sebenrnya belanda ingin sekali memasukan pendidikan agama keristen.
Dalam perkembangannya demi menjaga citranya dikalangan penduduk pribumi dan raja muslim yang berkuasa, akhirnya belanda dapat menunjukan sikap netralnya.[10]  Selanjutnya, atas desakan tokoh-tokoh islam  akhirnya diberikan diluar jam pelajaran resmi dan guru agama tidak mendapat gaji dari pemerintahan.
Pada zaman jepang pendidikan Isam terlihat lebih baik, terutama setelah dibentuk lembaga pendidikan agama setelah mendapat persetujuan dari kantor pusat Depertemen Agama dan guru mendapat gaji dari pemerintahan setempat. Artinya pendidikan Islam sangat tergantung kepada kebutuhan masyarakat setempat dan kesediaan pemerintah lokal menggaji . seringkali guru agama tidak mendapatkan gaji tetapi ada juga yang mendapat gaji dari swadaya masyarakat setempat atau dipungut dari gaji guru yang lain. [11]  
Pada masa kemerdekaan, keadaan pendidikan semakin baik setelah dibentuknya Departemen Agama sebagai hasil barganing (tawar menewar), politik umat Islam dihapuskannya piagam Jakarta. Depertemen Agama mengusulkan tiga : memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikular, memberi pengetahuan umum di madrasah,dan mengadakan Pendidikan Guru  Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Agama Islam Negeri (PHIN). Dalam Undang-Undang Nasional No. 4 tahun 1950 Jo. UUPN No.12 tahun 1954 juga ditetapkan bahwa disekolah-sekolah negeri diselenggrakan pelajaran agama  dengan catatan orang tua murid yang menetapkan keikutsertaan anaknya. Dengan demikian, secara jujur  posisi pendidikan agama relatif kuat atau paling tidak memiliki kekuatan hukum.
Dari sisi tersebut di atas, UU No. 4 tahun 1950 Jo UU No. 12 tahun 1954 ini simple tapi padat, tapi pada sisi lain UU ini belum maksimal dalam merefleksikan keinginan umat Islam –yang mayoritas jumlah penduduknya- dalam memasukkan pendidikan Islam.
Sampai akhir decade 60-an pelaksanaan pendidikan secara nasional masih bertumpu pada Undang-Undang No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 “tentang dasar-dasarPendidikan dan Pengajaran di Sekolah”. seperti dapay dipahami dari namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan di sekolah. Dalam kenyataan tidak memberi perhatian yang cukup pada pendidikan di sekolah. Dalam kenyataannya tidak memberi perhatian yang cukup pada pendid Dibawah ini akan dikemukakan isi dari pada Undang-Undang Nasional No. 4 tahun 1950 Jo. UUPN No.12 tahun 1954 tentang pendidikan agama antara lain :
  1. Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat”.
  2. Mengenai Madrasah hanya diisyaratkan dalam pasal 10 ayat 2 sebagai berikut :
  3. Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.
Undang-Undang tersebut ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2 April 1950 oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan S. Mangoensarkoro, kemudian diundangkan pada tanggal 5 April 1950 oleh Menteri Kehakiman pada saat itu A.G. Pringgodigdo. Selanjutnya Presiden Republik Indonesia menyatakan berlakunya Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dari Republik Indonesia terdahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1954 di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 1954 yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Muhamad Yamin serta Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo.
Pendidikan agama memang benar-benar memiliki posisi yang kuat setelah orde baru yang berhaluan anti komunis mengambil alih kekuatan. Kebijakan tentang pendidikan agama dilaksanakan berdasarkan pokok kebijakan. Pertama, orde baru memang condrong kepada Islam, karena hanya Islamlah yang benar-benar anti komunis. Diwajibkannya pendidikan agama semua jenjang dan jenis pendidikan, merupakan rangkaian dari pemberantasan komunisme sampai keakar-akarnya. Kedua, sebagai ucapan terimakasih kepada umat Islam yang telah berstau dengan ABRI telah menyelamatkan ideologi Negara pancasila dan Negara kesatuan Republik Indonesia dari G.30 September PKI  yang hendak mengganti ideologi pancasila dengan komunisme, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang secara objektif sangat memerlukan pendidikan agama. Sebab fungsi pemerintah disamping mengemban amanah yang bersifat politis juga mengemban amanah yang di bidang edukatif termasuk di dalalmnya pendidikan agama Islam.
Atas dasar itulah, pemerintah Orde Baru melalui Golkar sebagai mesin penggeraknya (politiknya)  senantiasa mengadakan control terhadap pendidikan agama  mulai dari kurikulumnya sampai pada pelaksanaannya terutama mengenai kulifikasi gurunya. Dan bahkan lebih dari itu, Golkar semakin intensif dalam mengembangkan atau mengkampanyekan Islam yang sesuai dengan persepsi dan haluan politiknya.[12]
Dengan demikian bahwa sistem yang berlaku pada saat itu atau pada suatu Negara cukup besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan sistem pendidikan Islam, baik terhadap kurikulum dan materi pelajaran dan pengadaan guru maupun kebijakan lain yang menyangakut identitas sebuah lembaga pendidikan Islam.
Secara harifah politik dapat diartikan sebagai usaha atau rekayasa yang diatur maka politik yang diartkian merupakan dalam rangka mencapai tujuan. Dengan pengertian demikian ini. Politik dalam bahasa Arabanya  dikenal dengan asy-Siyasah berlaku pada semua aspek kehidupan, seperti pendidikn,[13] keluarga, ekonomi, budaya, kenegaraan, dan lain lain. Dalam perkembangan selanjutnya, politik sering dikaitkan dengan masalah kekuasaan  suatu pemerintah. Di dalamnya, dibahas tentang bagimana usaha-usaha untuk mendaptkan kekuasaan, mengelola dan mempertahankannya agar supaya kekuasaan itu tetap dapat dipertahankan. Pengertian politik, dalam arti kekuasaan atau kebijaksanaan yang berkaitan dengan urusan pemerintahan tersebut, tampaknya yang paling menonjol dibandingkan dengan pengertian politik lainnya.
Sesungguhnya hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru, sejak zaman plato dan Aries Toteles, para filosuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap maslah ini, Kenyataan ini, misalnya, ditegaskan dengan ungkapan :” As Is The State, So Is The School” ( sebagaimana Negara, seperti itu pula sekolah).
Signifikasi dan inplikasi politik dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam, pada umumnya, bagi para pengausa muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah terebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik-politik tertentu dari penguasa muslim, diantaranya untuk memperkokoh citra pengausa sebagai ornag-orang yang mempunyai kesalehan mental, minat dan kepedulian kepada kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembeda antara ortodoksi dan pembeda.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara sistem pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa peran ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri.[14]
Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.
Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai korelasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang sejak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah melihat gejala besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.[15]
Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba jelas hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas bukan manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.
Signifikansi dan implikasi politik terhadap pendidikan Islam pada umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Dalam banyak kasus madrasah- madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan – kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di antaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang- orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian terhadap kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam.
Semua ini pada giliranya untuk memperkuat legitimasi penguasa vis-à-vis rakyat mereka. Persoalanya kemudian, sejauh mana madrasah dan lembaga–lembaga pendidikan Islam lainya sebagai wahana “ pendidikan politik” anak- anak didik atau masyarakat muslim umumnya.
Menurut Azyumardi, bahwa lembaga – lembaga pendididkan Islam sejak masa klasik hingga masa pertengahan, atau tepatnya masa pramodern, tidak menjadikan “ pendidikan politik” sebagai agenda. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga- lembaga     pendidikan Islam, dimasa- masa tersebut lebih merupakan salah satu wahana utama bagi transmisi bahkan” pengawetan ilmu- ilmu Islam”, meski pendirian madrasah misalnya sering dikaitkan erat dengan motif- motif politik, namun jika ditelusuri lebih jauh terdapat indikasi yang kuat bahwa ia tidak terlibat dalam proses- proses politik. Absolutisme politik muslim sebagaimana terlihat dalam eksistensi berbagai macam dinasti tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah, melainkan bahkan masyarakat muslim umumnya, untuk turut serta dalam proses – proses politik, dan mewujudkan partisipasi politik mereka. [16]
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting daam system social politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduannya saling dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduannya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu Negara. Lebih dari itu, keduannya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut.
Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik sudah jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan para umara dalam memperhatikan persoalaan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi social politik kelompok dan pengikutnya. [17]
Disini dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, Intuisi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, kurikulum.

D.    Sistem Sosial Budaya
Pendidikan dengan pendekatan sosiologi dapat diartikan sebagai subuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi. [18]  pendidikan dengan pendekatan  sosiologi ini menarik dan penting untuk dikaji dan diketahui karena. Beberapa alasan .
Pertama, konsep pendidikan. Selain didefinisikan melalui pendekatan individual sebagaimana aliran nativisme, juga dapat diketahui melalui pendekatan masyarakat sebagaimana aliran behaviorisme.  Dengan kata lain masyarakat mempunyai nilai-nilai pendidikan  yang ingin disalurkan dari generasi kegenerasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan  diibaratkan seperti bangunan rumah  tampak jelas warisan intelektual, seni, ekonomi, politik, agama dan lain-lain.
Kedua.  Pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah salah satu bentuk tindakan social yang memungkinkan terjadinya suatu interaksi melalui suatu  jaringan  hubungan-hubungan kemanusiaan.[19]  Dalam kaitannya dengan pendidikan  islam maka hal ini tidak dapat dipisahkan karena bagaimanpun juga sistem sosial dalam kemasyarakat sangat erat hubungannya dengan pendidikan islam.
Ketiga.  Di kalangan aliran progresivisme, sebagaimana yang banyak diterapkan saat ini, dinyatakan bahwa setiap anak didik memeiliki kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan kelebihan manusia dibandingan dengan makhuluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk mengehadapi dan memcahkan problem-problemnya. [20]
Sistem budaya merupakan rangkain hubungan komponen-komponen budaya  sebagai ungkapan perilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sebagai mahluk berbudaya. Namun demikian, dalam mekanisme budaya tersebut, tidak terpisahkan dari hubungan antara manusia sebagai mahluk sosial yang menghubungkan antara individu, antara indivdu kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok manusia liannya. Di sini terbentuk suatu tatanan yang kita konsepkan sebagai sistem sosial. Sistem ini berbentuk, sebagai akibat hubungan sosial antara komponen-komponen sosial individu, kelompok dalam bentuk tindakan dan prilaku pendukungnya.[21]
Hal ini dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh para para pengambil kebijakan, perancang dan praktisi pendidikan. Visi, misi dan arah tujuan, kurikulum, kualitas lulusan, pengelolaan sarana dan prasarana, keuangan, lingkungan dan evalusai pendidikan yang dirancang dan dilaksanakan harus memperhatikan factor kebudayaan sebagaimana dijelaskan di atas.
Pendidikan  dengan pendekatan kebudayaan dapat dirumuskan antara lain menjadikan pendidikan sebagai perantara yang kuat dan berwibawa  dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Sedangkan misi pendidikan yang berbasis kebudayaan antara lain :
1.      Mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan Indonesia kedalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pendidikan islam.
2.      Menjadikan pendidikn sebagai wahana bagi masyarakat nilai-nilai budaya kepada generasi muda.
3.      Mengupayakan terhindarnya peserta didik dari pengaruh budaya global yang negatif
4.      Mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang mendorong lahirnya etos kerja yang tinggi.
Adapun tujuan pendidikan yang berbasis kebudayaan adalah melahirkan peserta didik yang memiliki karakter yang merupakan keseluruhan dinamika rasional  antar pribadi  dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya agar pribadi itu semakin dapat mengahayati kebebasaanya sehingga ia mampu bertaggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi  dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. (pendidikan karater bertujuan membentuk insan yang berkeutamaan).
Sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah merupakan sistem tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari integrasi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang secara kebetulan,melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan standar penilaian yang disepakati oleh para pengikutnya yakni anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian tersebut adalah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.[22] Dalam sistem budaya inilah manusia belajar, berkreasi, berinovasi, berilmu, dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut dengan kehidupan berbudaya. 
Dalam perkembangan masyarakat terdapat tiga tipe masyarakat yaitu : masyarakat tardisional, masyarkat fedoal berkembang, dan masyarkat modern. Tipe masyarakat trdisional adalah masyarakat dengan kelompok-kelompok tradisional dari dunia luar dan jumlahnya relative sedikit. Pola hidup mereka masih sangat sederhana dan statis kehidupan mereka bergantung kepada alam.
Tipe ideal masyarakat feodal adalam masyarkat yang memiliki stara kehidupan lebih rendah-mereka terdiri dari masyarakat petani yang tinggal di pinggiran pedesan, dan menggunakan teknologi rendah, ditambah dengan beberapa tenaga trampil, di samping masyarkat yang tinggal berbasis di kota terdiri dari birokrat, ulama, sarjana, tuan tanah, dan perjurit, dengan kombinasi yang bervariasi.
Masyarakat feodal juga ditandai dengan instuisi administrasi, keagamaan dan pendidikan yang sudah jauh dikembangkan, yang digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mengabdikan posisinya di struktur masyarakat. Bagaimanpun, keadaan aman yang penting antara  masyarakat fedoal dan tradisional. Keduanya adalah masyarakat yang statis dan lugu, dan ditandai dengan tingkat keharamonisan yang tinggi.
Tipe ideal masyarakat modern memang sangat berbeda mereka bercirikan legalitarisme dan tingkat mobilitas yang tinggi  itisusi-intisusinya sangat berbeda secara khusus dan rasional, tatanan ekonomi, politik dan sosialnya terus menerus mengalami perubahan, dan kriteria menetukan status.
Bagaimanapun, perbedaan utama antara tipe masyarakat itu adalah sifat dinamis dari masyarkat modern jika dibandingkan dengan karakter masyarakat berkembang dan relait statis. Disisi lain  sistem modern memiliki keluwesan dan kemampuan beradaptasi untuk mengatasi perubahan yang demikian cepat dan mendasar di semua sektor masyarakat.[23]Dari ketiga karakter sistem sosial budaya tersebut diatas dapat dipahami bagaimanapun berkembang pesatnya suatu zaman, tipe-tipe masyarakat seperti yang telah disebutkan diatas tatap eksis baik masyarakat tradisional berkembang maupun modern. Tipe tersebut cendrung kepada pola pikir dan bertindak yang akan berimplikasi terhadap sistem pendidikan Islam.
Dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia kita dapat melihat betapa besar pengaruh sosial budaya terhadap pendidikan Islam. Pada masa dahulu pesantren banyak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional yang identik dengan pola pemikiran tradisionalnya juga beranggapan bahwa yang dikatakan pendidikan Islam itu adalah belajar membaca al-Qur’an dan ilmu agama semata masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir modern cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Seiring dengan perkembangan zaman, orientasinya telah berubah. Masyarkat berkembang pada saat sekarang tidak hanya membutuhkan pendidikan agama dalam makna sempit, akan tetapi pendidikan agama yang kompetitif. Hal ini ditandai dengan munculnya pesantren terpadu atau modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu Sains dan teknologi.
Sebaliknya, masyarakt modern tidak hanya membutuhkan pendidikan sains dan teknologi, tetapi juga membutuhkan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak karena semakin intensnya terjadi kemosrotan akhlak dikalangan anak-anak mereka karena pengaruh arus eraglobalisasi, hal ini ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan umum yang bersifat plus seperti SD Plus, SMP, SMA UIN yang mengintegrasikan antara pengajaran sains dan teknologi dengan nilai-nilai ke Islaman secara komprehensif.
Sanafial Faisal mengemukakan bahwa hubungan antara sekolah (pendidikan) dengan masyarakat paling tidak, bisa di lihat dari dua segi, yaitu:
1).  Sekolah sebagai patner masyarakat di dalam melaksanakan fungsi pendidikan. Dalam konteks ini, berarti keduannya yaitu sekolah dan masyarakat dilihat sebagai pusat-pusat pendidikan yang potensial, dan mempunyai hubungan yang fungsional.
2).  Sekolah sebagai prosedur yang melayani pesan-pesan pendidikan dari masyarakat lingkungannya. Berdasarkan hal itu, berarti keduannya antara sekolah dengan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional berdasarkan kepentingan kedua belah pihak.[24]
Dengan demikian  hubungan masyarakat dengan pendidikan sangat bersifat korelatif seperti bambo dengan tebing masyarakat akan maju karena pendidikan dan pendidikan akan maju sangat ditentukan oleh masyarakat.

E.     Kesimpulan
Dengan demikian, alhamdulillah kita telah sedikit banyak membahas akan sistem pendididkan Islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan nasional dari segi jalur, jenjang, sekaligus jenis pendidikan. Belum lagi kita telah mengetahui kedudukan dan peran pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional dengan berikut pembagiannya. Serta tidak lupa yang terakhir berbagai sistem kehidupan yang mempengaruhi sistem pendidiakn Islam dengan tiga pembagiannya (sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya), walau tidak menutup kemungkinan masih ada faktor kehidupan yang lain dapat ikut berperan dalam mempengaruhi sistem pendidikan Islam.
Dilihat perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalam pasang surut seirama perkembangan politik  di Indonesia. Pada zaman colonial belanda pendidikan tidak diberikan di sekolah, hal ini dapt dimengerti karena pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan pendidikan yang netral agama (sekuler), walaupun sebenrnya belanda ingin sekali memasukan pendidikan agama keristen.Sistem pemerintahan dari  pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan siasat dan lain sebagainya, mengenai pemerintahan atau terhadap Negara lain; kebijakan dalam menghadapi atau mengatasi masalah lain




















M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Permaslahan Umat, (Bandung, Mizan,1998),h. 402
Kartini Karton, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, ( Bandung, Bandar Maju, 1991),h. 101
Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, ( Bandung, Triganda Karya, 1993),h. 317
[1] Page Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke -21, ( Jakarta Pusat: Al-Husna, 1988),h. 109
[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:  Kalam Mulia, 2011),h.48-49
[1] S. Waqar Ahmaed Husain, Islam Evironnemental System Engineering. ( London, the Macmillan press, 1980). Cet ke 1-.h. 93
[1] Endang Syaifuddin Anshari, wawasan Islam, ( Jakarta, rajawali press. 1986), h. 167. 
[1] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004)h.67
[1] Kartini Karton, Op,Cit.,h. 101
[1] Kareil A. Stenbrink, Pesantren Sekolah Madrasah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ( Jakarta: LP3ES,1996),H. 54
[1] Tobroni dan Samsul Arifi, Islam Pluralism Budaya Dan  Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalamkeberagamaan Dan Pendidikan,( Yogyakarta, Sipres, 1994),h. 124
[1] Upaya Golkar di atas dilakukan misalnya dengan dengan mendirikan GUPPI,MDI,AMPI,BAZIZ dan lain sebagainya. Walaupun aktivitas keislaman yang  dilakukan Golkar itu pada umumnya bersifat politisi atau minimal syarat dengan muatan politis, akan tetapi ternyata  memiliki hikmah tersendiri bagi kehidupan keagamaan dalam era Baru ini.
[1] Kegunaan istilah politik untuk kegiatan pendidikan, antara lain digunakan oleh Ibnu Sina. Ia, misalnya  menggunakan istilah al-Siyasah al-Tarbiyah, yang secara harfiyah berarti pengaturan dan daya upaya yang berkenaan dengan pendidikan. 
[1]Azumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (Sebuah Pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Jakarta, Logos, 1994), h. 23
[1] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta, Grasindo, 2001), h 65.
[1] Ibid.
[1] M. Sirozi, Politik Pendidikan Dalam Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan Dan Politik Penyelenggaraa Pendidikan, ( PT Rajagrafindo Persada, 2005), h. 1-8
[1]Abudin  Nata, Ilmu Pendidikan Islam Denan Pendekatan Multidisiplin Normative Perenialis, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Manejemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h. 203-213
[1]  Ibid, h. 206
[1]  Ibid
[1] Nursyid Sumaatmadja, Pendidikan Pemanusiaan  Manusia Manusiawi, (Bandung Alfabet, 2002),h. 2
[1]  Nasikum, Sistem Nasional Indonesia,( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 205),h. 12
[1] Nasikum, Sistem Social Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995),h. 12
[1]  Sanafial Faisal dalam Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta Rajawali Press, 2001),h. 101








[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Permaslahan Umat, (Bandung, Mizan,1998),h. 402
[2] Kartini Karton, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, ( Bandung, Bandar Maju, 1991),h. 101
[3]  Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, ( Bandung, Triganda Karya, 1993),h. 317
[4] Page Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke -21, ( Jakarta Pusat: Al-Husna, 1988),h. 109
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:  Kalam Mulia, 2011),h.48-49
[6] S. Waqar Ahmaed Husain, Islam Evironnemental System Engineering. ( London, the Macmillan press, 1980). Cet ke 1-.h. 93
[7] Endang Syaifuddin Anshari, wawasan Islam, ( Jakarta, rajawali press. 1986), h. 167. 
[8] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004)h.67
[9] Kartini Karton, Op,Cit.,h. 101
[10] Kareil A. Stenbrink, Pesantren Sekolah Madrasah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ( Jakarta: LP3ES,1996),H. 54
[11] Tobroni dan Samsul Arifi, Islam Pluralism Budaya Dan  Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalamkeberagamaan Dan Pendidikan,( Yogyakarta, Sipres, 1994),h. 124
[12] Upaya Golkar di atas dilakukan misalnya dengan dengan mendirikan GUPPI,MDI,AMPI,BAZIZ dan lain sebagainya. Walaupun aktivitas keislaman yang  dilakukan Golkar itu pada umumnya bersifat politisi atau minimal syarat dengan muatan politis, akan tetapi ternyata  memiliki hikmah tersendiri bagi kehidupan keagamaan dalam era Baru ini.
[13] Kegunaan istilah politik untuk kegiatan pendidikan, antara lain digunakan oleh Ibnu Sina. Ia, misalnya  menggunakan istilah al-Siyasah al-Tarbiyah, yang secara harfiyah berarti pengaturan dan daya upaya yang berkenaan dengan pendidikan. 
[14]Azumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (Sebuah Pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari,( Jakarta, Logos, 1994), h. 23
[15] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, ( Jakarta, Grasindo, 2001), h 65.
[16] Ibid.
[17] M. Sirozi, Politik Pendidikan Dalam Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan Dan Politik Penyelenggaraa Pendidikan, ( PT Rajagrafindo Persada, 2005), h. 1-8
[18]Abudin  Nata, Ilmu Pendidikan Islam Denan Pendekatan Multidisiplin Normative Perenialis, Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Manejemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h. 203-213
[19]  Ibid, h. 206
[20]  Ibid
[21] Nursyid Sumaatmadja, Pendidikan Pemanusiaan  Manusia Manusiawi, (Bandung Alfabet, 2002),h. 2
[22]  Nasikum, Sistem Nasional Indonesia,( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 205),h. 12
[23] Nasikum, Sistem Social Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995),h. 12
[24]  Sanafial Faisal dalam Hasbulah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta Rajawali Press, 2001),h. 101